proposal penelitian

PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BERBAHASA ANAK TUNANETRA MELALUI PEMBELAJARAN VIDEO BERSUARA KELAS V SD DI SLB NEGERI BAURENO


PROPOSAL PENELITIAN


(Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dr. Yuliati, M.Pd)


NAMA                   : DIAN NOVITA PUSPITO RINI
NIM                        : 14010044004
PRODI                   : S1 PENDIDIKAN LUAR BIASA





UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai perkembangan dan kemajuan zaman. UU RI No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab IV pasal 5 ayat 1, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, sedangkan ayat 2 dikemukakan bahwa “warga negara yang mempunyai kelainan fisik emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Perkembangan peradapan hidup mempunyai pendidikan khusus, semula anak-anak berkebutuhan khusus dibuang, dibunuh dan digunakan untuk mencari keuntungan serta dikasihani saja tanpa dibekali pendidikan yang berguna untuk hidup sendiri. Dengan kemajuan pemikiran para ahli dan kemudian para ahli memikirkan bagaimana supaya anak berkebutuhan khusus tidak mengganggu anak normal dan anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dan tidak ketergantung kepada orang lain. Akhirnya anak berkebutuhan khusus memperoleh perlakuan yang sama dalam hal pendidikan, sehingga muncullah yayasan-yayasan yang mengusahakan penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Dalam rangka merealisasikan Pemendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai program unggulan bernama “Gerakan Literasi Bangsa (GLB)” yang bertujuan untuk menumbuhkan budi pekerta anak melalui budaya literasi (membaca dan menulis). Budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar. Pada penelitian yang sama, PISA juga mendapatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan 57 dari 65 negara yang diteliti. Data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,01. Artinya , setiap penduduk, hanya satu orang saja yang minat baca. Mencermati hal itu, GLB dirancang untuk membiasakan anak gemar membaca dan menulis. “GLB sendiri mengambil model penumbuhan budi pekerti lima belas menit pertama sebelum pelajaran dimulai, sebagaimana yang dituangkan dalam Pemendikbud Nomor 23 Tahun 2015, dan ini adalah kegiatan ekstra kurikuler bukan intra kurikuler jadi tidak menambah jam belajar yang sudah ada.
Dari peraturan pemerintah itulah anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunanetra juga wajib mengikuti gerakan literasi berbahasa karena anak tunanetra adalah adalah anak yang mempunyai hambatan dalam aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek perkembangan berbahasa. Anak tunanetra memiliki gangguan perkembangan berbahasa karena minimnya informasi-informasi yang dia peroleh. Kalau anak normal dia tidak begitu memiliki hambatan karena antara indra penglihatan dan pendengaran masih berfungsi jadi informasi yang mereka terima masuk den gan baik, sedangkan anak tunanetra dia hanya berfokus ke indra pendengaran dan perabaan saja jadi informasi-informasi yang diperoleh kurang signifikan. Kebanyakan anak tunanetra tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna dan bahasa tunanetra berbentuk kongrit.
Menurut Lowenfeld (1996:113) bahwa efesiensi yang lebih tinggi pada orang tunanetra dalam mengartikan data yang diterima lewat indera-inderanya adalah hasil dari perhatian, latihan dan praktek, adaptasi dan peningkatan pengguna indera-indera yang berfungsi. Menurut Hosni (1996;113) dikatakan “peningkatan ketajaman indera sangat diperlukan oleh seseorang tunanetra karena untuk pengenalan lingkungan dia sangat tergantung dari ketajaman indera dalam menerima informasi dari sekitarnya”. Bagi anak tunanetra indera peraba sangat membantu untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Untuk berperan aktif dan mampu menyumbang tenaga atau pekerjaan bagi anak diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Untuk itu diperlukan suatu keahlian khusus sebagai bekal hidup dan kehidupan di tengah masyarakat.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas yang dilakukan di SDLB NEGERI BAURENO, permasalahan yang ditemukan pada anak tunanetra adalah pembelajaran membaca karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunanetra pada penglihatannya sehingga untuk membaca dan menggali informasi anak harus membaca dengan braille. Sedangkan anak yang menguasai braille bisa di bilang masih terbatas kisaran 50-60% bukan hanya itu saja buku-buku yang memiliki sumber informasi yang bertuliskan braille masih sangat terbatas sekali. Jadi, disini guru dan orang tua harus pintar-pintar untuk memberikan informasi kepada anak tunanetra agar dia memiliki kosa kata yang banyak, pendidikan yang luas, dan interaksi pada diri anak. Disini media pembelajaran sangat diperlukan untuk pembelajaran anak tunanetra. Media pembelajaran adalah perantara untuk menyampaikan materi pembelajaran yang dapat merangsang dan memotivasi siswa untuk belajar dan mempermudah anak dalam memahami materi pembelajaran karena media tersebut bisa dimanipulasi, yaitu bisa dibaca, dilihat didengar. Sedangkan pada anak tunanetra yang memiliki hambatan pada penglihatannya dapat menggunakan media yang dapat didengar (media Audio).
Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran adalah media dengan menggunakan Vidio bersuara. Media video bersuara merupakan salah satu dari media pembelajaran yang paling umum dipakai dan merupakan bahasa yang umum dan dapat dimengerti dan dinikmati dimana-mana. Penyajian informasi dalam bentuk video dapat berisi kosa kata yang belum dipahami peserta didik. Video bersuara ini dapat berisi informasi-informasi tentang sejarah, bahasa Indonesia, pendidikan kewarganegaraan dan lain-lain. Dengan begitu siswa dapat memperoleh banyak informasi dari mendengarkan dan mencermati isi video bersuara tanpa harus membaca buku braille yang tebal.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai  “Pengembangan kemampuan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara” yaitu dengan melakukan pengamatan lebih mendalam mengenai kondisi pembelajaran membaca menggunakan braille di lapangan sebagai dasar dalam rancangan media video bersuara yang akan digunakan. Kemudian diujikan untuk pembelajaran membaca pada anak tunanetra total.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh yang signifikan pada perkembangan kemampuan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara”
C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum :
Bertujuan menganalisis data Tentang kemampuan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara, serta anak menguasai informasi yang didapat melalui media video bersuara.
2.      Tujuan Khusus :
1.      Untuk meningkatkan pengetahuan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara pada anak tunanetra kelas V di SDLB NEGERI          Baureno.
2.      Untuk mengaplikasikan kemampuan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara, serta anak menguasai informasi yang didapat melalui media video bersuara.
3.      Untuk mengembangkan kemandirian anak dengan menggunakan video bersuara dalam meningkatkan keterampilan berbahasa anak.
D.    Manfaat Penelitian
Masalah yang diangkat penting untuk diteliti karena akan membawa manfaat, yaitu:
1.      Bagi Siswa
Penelitian ini dapat memberikan anak tunanetra berbagai informasi yang luas dan bahasa yang baik.
2.      Bagi Peneliti
Penelitian ini akan memberikan manfaat berharga berupa pengalaman praktis dan dapat digunakan sebagai sarana teori-teori kependidikan luar biasa di dalam praktek nyata.
3.      Bagi Pendidikan
Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih baik terhadap pelayanan pembelajaran yang harus diberikan kepada siswa tunanetra.

E.     Pentingnya Masalah Untuk Diteliti
Dalam penelitian suatu masalah tentunya ada suatu hal yang kita anggap masalah tersebut penting untuk diteliti dan mempunyai suatu manfaat. Pentingnya suatu masalah ini, sesuai dengan judul ataupun rumusan masalah, penting untuk diteliti karena :
1.      Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi bagi guru dalam meningkatkan keterampilan berbahasa siswa tunanetra
2.      Dengan diberikannya informasi-informasi melalui video bersuara dapat memperluas pengetahuan anak dalam berbahasa.
3.      Agar siswa tunanetra memiliki kemampuan dalam berbahasa mempersiapkan anak tunanetra untuk bekal hidupnya dan kehidupan anak tunanetra di masyarakat.

F.     Asumsi
Asumsi merupakan anggapan dasar yang digunakan sebagai berikut :
a.       Anak tunanetra mampu belajar dan memiliki potensi untuk mempelajari mata pelajaran Bahasa Indonesia.
b.      Dengan pembelajaran video bersuara meningkatkan keterampilan berbahasa anak tunanetra di sekolah luar biasa.
c.       Kemandirian anak tunanetra ditingkatkan melalui keterampilan bersosialisasi dan bertukar fikiran dengan teman, guru atau orang disekitar lingkungan.
d.      Pembelajaran video bersuara merupakan salah satu kegiatan pembelajaran untuk mengasah keterampilan berbahasa siswa.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Keterampilan Berbahasa Anak Tunanetra Melalui Pembelajaran Video Bersuara
1.      Pengertian
Dengan keterampilan berbahasa, siswa secara individual atau secara kelompok  ditugaskan  Membaca, menyimak, berbicara dan menulis untuk menghasilkan sebuah informasi yang luas.
Media audio untuk pengajaran adalah bahan yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (pita suara atau piringan suara) yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga terjadi proses belajar, (Sudjana dan Rivei (2003:129)). Salah satu media audio yang sering digunakan dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus terutama anak tunanetra adalah media video bersuara.
Video bersuara adalah media yang sering kali digunakan media pembelajaran untuk mempermudah anak memahami suatu materi dan informasi. Video bersuara merupakan media yang saat ini lagi gencar-gencarnya diberikan untuk anak berkebutuhan khusus.
Maka dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa media video bersuara adalah media yang tepat diberikan untuk anak berkebutuhan khusus terutama anak tunanetra dalam menggali berbagai informasi untuk melatih keterampilan berbahasa pada diri anak.
2.      Keunggulan Vidio bersuara dalam ketrampilan berbahasa anak.
a.   Sangat efektif dalam membangkitkan motivasi belajar dalam diri siswa saat proses pembelajaran.
b.  Jika disajikan secara berkelompok, maka siswa akan belajar dan berlatih dalam mengembangkan sikap, pengetahuan, dan kerjasama yang diperlukan dalam pembentukan “teamwork” yang kelompok meliputi:
1.    Solidaritas dan interaksi social antar siswa.
2.    Membahas dan mendiskusikan bersama informasi-informasi yang sudah dicermati dan menemukan pemecahan atau titik temu.
3.    Pembagian tugas dan tanggung jawab.
4.    Menumbuh kembangkan sikap keterbukaan terhadap kesalahan dan kelemahan diri.
5.    Berbagai informasi dan pengalaman.
3.      Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran Video Bersuara
a.      Langkah Perencanaan
1.      Judul untuk melakukan proses pembelajaran adalah pengembangan keterampilan berbahasa anak tunanetra melalui pembelajaran video bersuara.
2.      Buku panduan pelaksanaan pembelajaran berisi :
a.         Tujuan pelaksanaan keterampilan berbahasa
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini siswa mampu :
1.   Menyebutkankan kosa kata yang lebih banyak dari kosa kata sebelumnya
2.   Menyebutkan berbagai informasi yang sudah didapat
3.   Melakukan sosialisasi dengan teman dan bertukar pikiran
b.        Kegiatan dilakukan waktu jam pelajaran bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, IPS.
b.      Langkah Persiapan
1.      Siapkan laptop dan Spiker yang memiliki volume besar dank keras
2.      jelaskan pada siswa gambaran umum tentang video apa yang akan diputarkan untuk mereka, agar informasi yang didapat tidak salah faham.
3.      Beri kesempatan kepada siswa untuk bertanya guna memperjelas pemahamannya tentang informasi  yang akan ditayangkan
c.       Langkah Pelaksanaan
1.      Siswa mencermati baik-baik isi video bersuara kemudian mencatat dibuku dengan riglet dan stilus tentang kosa kata yang belum pernah dipahami dan didengar untuk menambah sumber informasi dan menambah keterampilan berbahasa siswa.
2.      Siswa melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.
3.      Siswa dapat berkonsultasi kepada guru jika menghadapi kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan.
d.      Langkah Evaluasi dan Penutup
1.      Guru dan siswa diberi kesempatan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk menilai seberapa jauh kemampuan anak dalam mencerna informasi yang didengar dan menambah keterampilan berbahasa mereka.
2.      Guru membuat penilaian terhadap pelaksanaan, hasil dan paparan siswa.
3.      Gunakan nilai tersebut sebagai komponen nilai dari mata pelajaran yang relevan.
4.      Diberi komentar, pengarahan, penghargaan kepada siswa atau kelompok siswa untuk memperkuat motivasi belajar mereka.
B.     Kajian tentang Ketunanetraan
  1. Pengertian Tunanetra
Tunanetra merupakan sebutan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami ketunanetraan. Rogow dan Mason (dalam Hadi, 2005:35-36) mengatakan bahwa kerusakan penglihatan ialah istilah umum yang menggambarkan adanya jenis ketunanetraan yang meliputi buta (blind) dan kurang penglihatan (low vision). Buta digunakan untuk mendiskripsikan anak yang benar-benar mengutamakan metode perabaan dalam belajarnya, sedangkan kurang penglihatan untuk mendiskripsikan anak yang sebagian besar belajarnya mengutamakan metode penglihatan.
Schulz dan Geraldine (dalam Hadi, 2005:36) menyatakan banyak orang berasumsi bahwa orang buta tidak memiliki penglihatan, tidak dapat merespon beberapa rangsang penglihatan dan hidup di dunia kegelapan.
Definisi para ahli dalam berbagai tinjauan dan kebutuhan layanan yaitu; Pengertian dari segi Pendidikan, menurut Barraga tunanetra diartikan sebagai suatu cacat penglihatan sehingga proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal terganggu. Oleh karenanya diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan pelajaran dan lingkungan belajar. Pendapat Hardman juga menyebutkan bahwa anak tunanetra tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan bergantung kepada indera lain yang masih berfungsi.
Secara anatomis – fisiologis, ketunanetraan menyangkut struktur anatomi dan fungsi organ mata. Sehingga tunanetra adalah rusaknya organ anatomi mata yang menyebabkan terganggunya fungsi penglihatan.
Secara medis, ketunanetraan dikaitkan dengan penyakit dan kelainan. Tunanetra adalah kerusakan mata yang disebabkan oleh penyakit dan kelainan anatomi atau kelainan fungsi penglihatan, sehingga tunanetra perlu mendapatkan pengobatan pada mata atau diberikan koreksi pada fungsi penglihatannya.
Pengertian untuk layanan rehabilitasi disampaikan oleh Sigelman dan Geraldine (dalam Hadi, 2005:38) bahwa memahami istilah ketunanetraan meliputi tiga pengertian yaitu ketunaan/kekurangan (impairment), ketidakmampuan (disability), dan hambatan atau kendala (handicap). Istilah impairment berkenaan dengan pengenalan kerusakan pada fungsi dasar organ atau sistem organ mata. Disability memberikan batasan adanya beban katidakseimbangan atau ketidakmampuan seseorang individu akibat kecacatan/kerusakannya. Sigelman (dalam Hadi, 2005:40) mengidentifikasi lima hal dimana kerusakan mata berkontribusi mengalami ketidakmampuan: kesehatan, perilaku sosial, mobilitas, intelektual-kognitif, dan komunikasi. Handicap disebabkan oleh perasaan tidak beruntung atau kesulitan dalam melakukan perbuatan sesuai fungsi-fungsi kehidupan secara normal disebabkan oleh harapan atau sikap – sikap seseorang atau masyarakat terhadap penyandang ketunaan.
2.      Karakteristik Tunanetra
Menurut Wahyuno, (2013:7-9) dalam buku Orientasi & Mobilitas beberapa karakteristik anak tunanetra adalah sebagai berikut:
a.       Rasa curiga pada orang lain. Akibat ketunanetraanya orientasi dan mobilitas anak tunanetra mengalami hambatan. Pengalaman sehari-hari yang kurang menyenangkan, sehingga menyebabkan anak tunanetra mudah menaruh curiga pada orang lain.
b.      Perasaan mudah tersinggung. Anak tunanetra yang mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan di dalam kehidupan sehari-harinya menimbulkan ia mudah emosi dan mudah merasa terganggu. Oleh sebab itu apabila ia mendapat tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak disengaja orang lain dapat menimbulkan perasaan anak tunanetra tersinggung.
c.       Ketergantungan yang berlebihan. Sikap ketergantungan adalah sikap tidak mau mengatasi kesulitan sendiri, cenderung untuk meminta bantuan orang lain. Biasanya munculnya ketergantungan ini berasal dari kebiasaan yang salah.Faktor dari dalam dan luar juga ikut mempengaruhinya.
d.      Blindism. Blindism adalah gerakan yang tanpa disadari anak tunanetra yang dilakukan berulang-ulang dan orang lain menganggapnya sebagai hal yang aneh.
e.       Rasa rendah diri. Anak tunanetra sering ditemui dalam keadaan rendah diri karena sering diabaikan orang lain.
f.       Tangan agak ke depan dan badan agak membungkuk. Hal ini sering terjadi karena anak tuanetra sering terantuk baik tangan maupun kepala.
g.      Suka melamun. Akibat rusaknya kedua fungsi penglihatan anak tunanetra tidak bisa melakukan pengamatan dengan indera penglihatan, sehingga pada waktu kosong digunakan untuk melamun.
h.      Fantasinya cukup kuat untuk mengingat suatu obyek. Fantasi ini berkaitan dengan melamun sebab lamunannya akan menimbulkan suatu frustasi pada obyek yang pernah diperhatikan oleh perabaannya.
i.        Kritis.            Keterbatasan penglihatan dan kekuatannya dalam berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya pada hal-hal yang belum dimengerti.
j.        Pemberani. Bila sudah memahami konsep yang benar tentang gerak dan lingkungannya anak tunanetra akan melakukan segala sesuatu tanpa ragu-ragu.
Ketunanetraan yang dihadapi oleh seseorang menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya. Keterbatasan tersebut merupakan hambatan tunanetra untuk dapat beraktifitas sesuai harapan seorang tunanetra dan harapan masyarakat awas. Upaya tunanetra agar tetap dapat melakukan aktifitas menyebabkan terjadinya perilaku tertentu. 
Beberapa karakteristik ketunanetraan mempunyai relevansi dalam proses perkembangan: awal usia terjadinya, tipe dan derajat penglihatan, serta prognosanya. Lowenfeld dan Geraldine (dalam Hadi, 2005:49) menyatakan anak yang mengalami kerusakan penglihatan sebelum usia lima tahun mengalami hambatan visual bawaan dan harus dipertimbangkan dalam mencapai tujuan pendidikan, sebab mereka relatif menyimpan sedikit gambaran penglihatan dan sedikit ingatan warna. Anak yang mengalami ketunanetraan setelah usia lima tahun mengalami kesulitan dan agak menyukai perabaan daripada belajar melihat dan sering terlihat reaksi emosional yang mengiringi ketunanetraannya.
Perilaku tunanetra pada mulanya merupakan ciri khas secara individu, namun pada perkembangannya menunjukkan hampir semua tunanetra pada golongan yang sama relatif memiliki karakteristik fisik, karakteristik emosi, karakteristik lainnya.

a.         Karakteristik Fisik
Ciri khas ketunanetraan dapat dilihat langsung dari keadaan organon mata secara anatomi, fisiologi maupun postur tubuhnya. Griffin dan Geraldine (dalam Hadi, 2007) dalam studinya menguraikan bahwa kekurangan penglihatan dari sejak lahir mempunyai dampak yang mengganggu perkembangan motorik awal. Bayi dan anak-anak muda yang mengalami ketunanetraan sering menunjukkan perkembangan kontrol otot yang buruk pada kepala leher, dan otot-otot tubuh.
1)      Ciri khas fisik tunanetra buta. Mereka yang tergolong buta bila dilihat dari organ matanya biasanya tidak memiliki kemampuan normal, misalnya bola mata kurang atau tidak pernah bergerak, kelopak mata kurang atau tidak berkedip, tidak bereaksi terhadap cahaya. Seorang tunanetra buta tidak terlatih orientasi dan mobilitas biasanya tidak memiliki konsep tubuh atau body image, sehingga sikap tubuhnya menjadi jelek misalnya: kepala tunduk atau bahkan tengadah, tangan menggantung layu atau kaku, badan berbentuk sceilosis, berdiri tidak tagak.
2)      Ciri khas fisik tunanetra kurang penglihatan. Tunanetra kurang lihat karena masih adanya sisa penglihatan biasanya berusaha mencari atau upaya rangsang. Dalam upaya mencari rangsang ini kadang berperilaku yang tidak terkontrol misalnya: tangan selalu terayun, mengerjab-kerjabkan mata, mengarahkan mata ke cahaya, melihat suatu obyek dangan cara sangat dekat, melihat obyek dengan memincingkan atau membelalakkan mata.

b.         Karakteristik Psikis
Dennison dan Randall, 1985 (dalam Hadi, 2007) mengemukakan seseorang dengan albino atau glaucoma sering menunjukkan tingkah laku ekstrem. Mereka kelihatan gembira, kacau, dan ceria dalam aksinya dan verbalistis, kompulsif, dan cenderung perfeksionis.
Ketidakmampuan yang berbeda antara tunanetra buta dengan tunanetra kurang lihat juga berpengaruh pada karakter psikisnya. Secara umum tunanetra sering menunjukkan kepribadian yang kaku (rigidity), yang disebabkan oleh (1) kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka sehungga memberikan kesan kebekuan muka atau kekakuan wajah, dan (2) kekakuan dalam gerak tubuh dan tingkah laku yang merupakan akibat dari terhambatnya kemampuan orientasi dan mobilitas, juga sering ditemukannya tingkah laku adatan (blindism). Blindism merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari, contohnya; mengeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, menggoyang-goyangkan badan dan sebainya.semua gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain akan pusig bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

3.         Layanan Khusus Bagi Tunanetra
Karena keterbatasannya dalam penglihatan anak tunanetra memerlukan layanan khusus hampir seluruh gerak kehidupannya. Begitu pun dalam layanan pendidikan, mereka memerlukan layanan khusus.
Anak tunanetra mempunyai gaya belajar auditory, tactile, dan kinestetik. Menurut Munawar dan Suwandi (2013:24) anak berkebutuhan khusus paling sedikit mempunyai tiga alasan untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus yaitu:
a. Individual differences, manusia diciptakan berbeda-beda memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda sehingga membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
b. Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan khusus
c. Siswa berkebutuhan khusus lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan BAB VII Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Bagian Kesatu. Pasal 127 menyebutkan bahwa, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Kemudian, Pasal 130 menyatakan bahwa,
“(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.”
Berdasarkan landasan yuridis tersebut, maka anak tunanetra bisa memperoleh layanan pendidikan khusus di satuan pendidikan khusus, umum, kejuruan, maupun keagamaan.

4.         Klasifikasi Ketunanetraan
Rogow dan Faye (dalam Hadi, 2005:45) mengklasifikasikan tunanetra atas dasar fungsi penglihatan ke dalam lima kategori, yaitu (1) kelompok yang memiliki penglihatan agak normal tetapi membutuhkan koreksi lensa dan alat bantu membaca; (2) kelompok yang ketajaman penglihatannya kurang atau sedang yang memerlukan pencahayaan dan alat bantu penglihatan khusus; (3) kelompok yang memiliki penglihatan pusat rendah, lantang penglihatan sedang, ketidakmampuan memperoleh pengalaman akibat kerusakan penglihatan; (4) kelompok yang memiliki fungsi penglihatan buruk, kemampuan lantang pandang rendah, penglihatan pusat buruk, dan perlu alat bantu untuk membaca yang kuat; dan (5) kelompok yang tergolong buta total.
Menurut kemampuan melihat, tunanetra (visual impairment) dapat dikelompokkan pada: buta (blind), ketunanetraan jenis ini terdiri dari:
a.     Buta total (totally blind) adalah mereka yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang.
b.     Memiliki sisa penglihatan (residual vision) adalah mereka yang masih bisa membedakan antara gelap dan terang.
c.     Kurang penglihatan (low vision), jenis-jenis tunanetra kurang lihat, yaitu:
1)       Light perception, apabila hanya dapat membedakan terang dan gelap.
2)      Light projection, tunanetra ini dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya.
3)     Tunnel vision atau penglihatan pusat, penglihatan tunanetra adalah terpusat (20) sehingga apabila melihat obyek hanya terlihat bagian tengahnya saja.
4)       Peripheral vision atau penglihatan samping, sehingga pengamatan terhadap benda hanya terlihat bagian tepi.
5)      Penglihatan bercak, pengamatan terhadap obyek ada bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat.

5.      Dampak Ketunanetraan
Sigelman dan Geraldine dalam (Hadi, 2005:53) mengemukakan bahwa disability adalah adanya beban yang tidak seimbang atau ketidakmampuan pada seorang individu akibat kecacatannya/kerusakan. Sigelman mengidentifikasi ada lima kerusakan mata berkontribusi mengalami ketidak mampuan dalam bidang: kesehatan, perilaku sosial, mobilitas, intelektual-kognitif, dan komunikasi. Terjadinya kelainan atau kerusakan penglihatan mengakibatkan kegoncangan secara psikologis bagi penyandangnya.
Mary Kingsley & Heather Mason (dalam Hadi, 2005:53) menyebutkan empat area pengembangan sebagai dampak kerusakan penglihatan, yaitu: sosial dan emosional, bahasa, kognitif, serta orientasi dan mobilitas.
Akibat dari munculnya ketunanetraan pada seseorang akan berdampak secara khusus bagi penyandangnya, yaitu:
a.    Dampak Personal atau Individu
    Yaitu dampak ketunanetraan yang langsung dialami oleh penderitanya. Kerusakan organ mata dan terganggunya fungsi penglihatan akan memberikan reaksi negative bagi penyandangnya. Tingkatan- tingkatan reaksi tersebut sangat bervariasi, misalnya: (1) ketunanetraan akan membawa akibat langsung pada penyandangnya, yaitu tidak dapat melihat dengan baik: tunanetra ringan, tunanetra sedang, maupun tunanetra berat; (2) ketunanetraan pada seseorang akan mengakibatkan munculnya hambatan-hambatan dalam hidupnya; (3) kesulitan dalam mengatasi hambatan-hambatan akan menimbulkan reaksi emosional pada penyandangnya; (4) reaksi emosional yang tidak terkendali atau tidak terpenuhi akan menimbulkan frustasi; dan (5) frustasi yang berlebihan akan mempengaruhi perkembangan pribadi, sehingga akan menunjukkan gejala-gejala kepribadian yang negative, seperti: rendah diri, murung, putus asa, tertekan.
b.    Dampak Pada Perkembangan Sosial dan Emosional
     Dampak akibat ketunanetraan oleh Elstner, Heather Mason dkk (dalam Hadi, 2005:54) dalam hal komunikasi verbal oleh siswa tunanetra dikemukakan bahwa mereka tanpa sadar mengharapkan reaksi budaya yang tetap dan pola tingkah laku yang memperlakukan atau bertindak dan memberi respon penuh kasih sayang terhadap anak. Oleh karena itu, mereka salah menafsirkan ekspresi wajah anak buta adalah refleksi penolakan atau kurang berminat.
    Beberapa tunanetra biasa bermain secara parallel pada saat yang sama, saling beraktivitas yang sama, tetapi tidak melakukan kerjasama (non cooperative). Banyak anak tunanetra remaja yang ditemukan kesulitan menghilangkan kelakuan kurang pantas atau blindism.
    Implikasi, tunanetra walaupun mengalami kekurangan pada masalah penglihatan, namun tetap mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dengan mewujudkan dalam peran sosial (sosial role) di lingkungan masyarakatnya. Akibat terjadinya kecacatan atau kelainan penglihatan dalam lingkup kehidupan luas, biasa akan menimbulkan pandangan atau reaksi yang beragam pada masyarakat. Reaksi masyarakat atas keberadaan tunanetra bisa bersifat positif maupun negative. Pandangan masyarakat yang bersifat negative misalnya:  sikap masa bodoh (apriori), menganggap tunanetra kurang atau tidak berkepribadian, menganggap tunanetra selalu bergantung pada orang lain. Secara psikologis pandangan negative dari masyarakat tersebut menyebabkan tunanetra mempunyai perilaku negative.
c.    Dampak Pada Perkembangan Bahasa dan Komunikasi
    Dampak ketunanetraan seseorang berpengaruh pada perkembangan bahasa. Elstner, Heather Mason dkk, (dalam Hadi, 2005:55) mengemukakan bahwa tunanetra buta yang lambat mengamati kejadian visual dan pendengaran mempunyai konsekuensi kehilangan rangsang yang berharga untuk berbicara, dan banyak kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi. Fraiberg Heather Mason, dkk, (dalam Hadi, 2005:55) mengatakan adalah beralasan, bahwa siswa tunanetra buta jarang berinisiatip untuk dialog lisan bersama, sebagai dampak dari pengetahuan akan pesan yang kurang dan kurangnya lingkungan yang kondusif untuk pengembangan komunikasi bagi tunanetra.
   Implikasi, akibat kurang berkembangnya bahasa dan kemampuan berkomunikasi para tunanetra, maka tugas para orangtua, guru, dan pekerja yang berkecimpung pada masalah ketunanetraan untuk mengembangkan bahasa anak, memperbaiki artikulasi dengan mengoreksi suara, serta mendorong anak tunanetra berartikulasi melalui kegiatan permainan, bernyanyi dan berpuisi/bersajak.
d. Dampak Pada Perkembangan Kognitif
    Dampak ketunanetraan terutama pada tunanetra klasifikasi ‘buta’ juga berpengaruh pada perkembangan kognitif. Lowenfeld, Heather Mason, dkk, (dalam Hadi, 2005:56) mengemukakan bahwa tunanetra buta mempunyai masalah serius pada perkembangan fungsi kognitif, yaitu meliputi: (1) dalam tingkat dan macam pengalaman yang dimiliki tunanetra; (2) dalam kecakapan atau kesanggupan untuk berbuat; dan (3) dalam berinteraksi dengan lingkungan.
     Masalah kognisi lain disampaikan oleh Jan, Heather Mason, dkk (dalam Hadi, 2005:56) bahwa banyak problem berkaitan kurang/lemahnya kognitif sebagai akibat kurangnya informasi, kenyataan bahwa berbagai pengertian tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien.
    Implikasi secara umum keberhasilan penggunaan penglihatan oleh para low vision tergantung pada keseluruhan status fisik dan kesehatan mental dalam berhubungan dengan factor lingkungan, ukuran tulisan, pencahayaan, kontras, perubahan lingkungan, bentuk dasar yang disyaratkan. Jika penglihatan pusat menurun, maka sering mendatangkan problem akademik, terutama dalam hal tugas membaca dan menulis.Banyak aktivitas fisik sangat sulit dilakukan bila hanya menggunakan penglihatan samping, misalnya; mengambil barang, menulis, menunjuk ke suatu obyek. Selanjutnya tunanetra tersebut akan mendapatkan problem yang signifikan dalam kegiatan akademi dan penyesuaian sosial.
e. Dampak Pada Perkembangan Gerak serta Orientasi dan Mobilitas  
  Istilah orientasi dan mobilitas mempunyai arti yang sangat khusus bagi penyandang ketunanetraan dan pemerhati yang bekerja serta melayani para penyandang tuanetra tersebut. Tooze dan Heather Mason, (dalam Hadi, 2005:57) membedakan pengertian antara orientasi dan mobilitas, yaitu: orientasi adalah kemampuan untuk memahami objek dan hubungan objek dengan lainnya, memerlukan pola peta mental tentang lingkungan. Latihan mobilitas menyangkut kemahiran berbagai bentuk teknik dan ketrampilan yang memungkinkan penyandang tunanetra bergerak dengan mudah pada lingkungannya.
    Dampak pengembangan orientasi dan mobilitas tidak bisa dilepaskan dari awal perkembangan gerakan yang dilakukan oleh tunanetra, Jan dan Heather, (dalam Hadi, 2005:57) mengemukakan bahwa siswa yang mengalami ketunanetraan berat dengan berbagai ketakutan tidak akan memperoleh kesempatan baik untuk belajar ketrampilan bergerak, sehingga tunanetra perkembangan motoriknya terlambat. Tunanetra sering mangalami kecemasan, koordinasi motorik yang buruk, berjalan pada kaki yang tidak kokoh, dan posisi kakinya sangat jelek oleh karenanya B.J. Cratty dan Theressa A. Sams mengemukakan bahwa sebelum tunanetra mengenal situasi dan kondisi lingkungan di luar dirinya, tunanetra perlu untuk mengenal dirinya sendiri, program yang dikenalkan adalah “Body Image for the Blind”:
1) Bidang-bidang tubuh: (pengenalan bidang-bidang tubuh, bidang tubuh dalam hubungannya dengan permukaan luar, permukaan horizontal dan vertical, serta obyek dalam hubungannya dengan bidang tubuh).
2)    Bagian-bagian tubuh: (pengenalan bagian tubuh: sederhana, bagian–bagian wajah, bagian tubuh yang kompleks, serta bagian tangan/jari).
3) Gerakan tubuh: (gerakan badan tetap di tempat, gerakan umum sehubungan dengan bidang tubuh, dan gerakan-gerakan anggota tubuh)
4) Samping (sisi tubuh, ke samping sehubungan dengan obyek, dan sisi tubuh yang kompleks)
5)         Arah: (arah pada orang lain, kiri dan kanan obyek, dan gerakan orang lain ke samping).
      Best dan Heather (dalam Hadi, 2005:58) menggambarkan bahwa siswa tunanetra tidak dapat dengan mudah memonitor gerakannya dan juga kesulitan memahami apa yang terjadi ketika mereka bergerak atau mengulurkan lengan atau anggota badan, menekan pinggang atau berguling. Ketunanetraanya menyebabkan kesulitan memperoleh pengalaman untuk membuat peta mental lingkungannya. Motivasinya untuk menjelajah suatu lingkungan juga lemah karena tunanetra kebanyakan kesulitan dalam menyusun informasi kedalam peta mentalnya.
Implikasi, akibat adanya keterbatasan Orientasi dan Mobilitas, maka penyandang tunanetra akan terhambat dalam 3 aspek kehidupan, yaitu (a) hambatan dalam memperoleh pengalaman atau informasi baru; (b) hambatan dalam mengadakan hubungan sosial dan kegiatan masyarakat; dan (c) hambatan dalam membentuk kemandirian.
Oleh karena itu, perlu berbagai usaha untuk mengembangkan tunanetra melalui berbagai latihan berjalan mandiri, ketrampilan intervensi dan menjelajahi lingkungan baru, latihan gerak tubuh yang koordinatif, dan membuat suatu struktur program pembelajaran teknik orientasi dan mobilitas bagi penyandang tunanetra yang dimulai sejak awal dengan memempergunakan prosedur dan teknik yang telah dibakukan oleh para ahli dan dibimbing oleh seorang instruktur Orientasi dan Mobilitas.

C.    PENELITIAN YANG RELEVAN
Menurut syamsuddin (1986:2), bahasa memiliki dua pengertian. Pertama, bahasa ialah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran serta perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi serta dipengaruhi. Kedua, bahasa ialah tanda yang jelas dari kepribadian yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga serta bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Carol, berpendapat bahasa ialah sistem bunyi atau urutan bunyi vocal terstruktur yang dipergunakan untuk berkomunikasi internasional oleh kelompok manusia dalam mengungkapkan suatu peristiwa, hal dan proses yang terjadi disekitar manusia.
Sebagai bukti kebenaran tentang eksistensi bahasa (linguistic) yang dinyatakan dalam kajian filsafat dikemukakan Suriasumantri (2000) bahwa “batas bahasaku adalah batas duniaku”. Hal ini dapat dimaknai bahwa tanpa kemampuan berbahasa, manusia tidak akan mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi berikutnya. Dinyatakan pula bahwa “tanpa bahasa” simpul Aldous Huxiey maka manusia tidak jauh beda dengan anjing atau monyet.


D.    KERANGKA BERFIKIR





BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara atau teknik yang dipergunakan untuk menyimpulkan, menyajikan dan menganalisis data secara sistematis guna mendapatkan fakta yang benar untuk memecahkan suatu permasalahan.

A.    Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Moleong (2013:6) metode penelitian kualitatif Adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Alasan peneliti memilih menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif karena permasalahan belum jelas, kompleks, dinamis, dan penuh makna. Adapun rancangan penelitian yang akan dilakukan peneliti dalam hal ini adalah penggambangan, situasi masalah yang dideskripsikan secara sistematis mengenai keterampilan berkomunikasi siswa anak tunanetra di SDLB Negeri Baureno Bojonegoro.

B.     Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah SDLB Negeri Baureno , adapun rinciannya sebagai berikut :
            Nama Sekolah  : SDLB Negeri Baureno
Alamat                           : Ds. Pasianan Kec. Baureno Kab. Bojonegoro
Waktu pelaksanaan dilakukan pada semester 1 pada tanggal 06 Desember 2016 s/d 10 Desember 2016 tahun pelajaran 2015/2016.

C.    Subyek  Penelitian
Yang menjadi subyek penelitian ini adalah anak tunanetra siswa kelas V SDLB NEGERI Baureno sebanyak 3 anak.

Tabel 3.3 Daftar Sampel sebagai subyek Penelitian
No
Nama
Jenis Kelamin
Kelas
1
atik
P
V
2
Reza
L
V
3
meliya
P
V
D.    Definisi Oprasional
Varabel-variabel perlu didefinisikan secara operasional, karena penyusunan definisi operasional itu akan menunjukkan alat pengambilan data yang cocok untuk digunakan. Pada judul penelitian yang penulis ajukan, variabel-variabel yang diteliti adalah:
a.       Keterampilan Berbahasa
Membaca, menyimak, berbicara dan menulis adalah satu kesatuan yang harus dilakukan siswa untuk memiliki bahasa yang luas dan informasi yang relefan. Pada anak tunanetra dia memiliki hambatan dalam penglihatannya sehingga alat indra yang sering digunakan adalah pendengaran. Anak tunanetra bisa menyimak informasi yang dia peroleh melalui indra pendengarannya barulah dia bisa berbicara tentang apa yang sudah dia rangsang melalui indra pendengarannya.
Menurut Hoetomo MA (2005:531-532) terampil adalah cakap dalam menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan. Keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. atau kecakapan yang disyaratkan. Dalam pengertian luas, jelas bahwa setiap cara yang digunakan untuk mengembangkan manusia, bermutu dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana diisyaratkan (Suparno, 2001:27).   Keterampilan Berbahasa adalah kemampuan dan kecekatan menggunakan  bahasa yang dapat meliputi mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
b.      Tunanetra
Tunanetra adalah sebutan orang yang mengalami gangguan pada penglihatan. Anak tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan pada  alat penglihatannya yang tidak berfungsi untuk menerima informasi dengan jelas dalam kegiatan yang sedang dilihat oleh orang normal. Ketajaman penglihatan anak kurang tidak seperti ketajaman yang dimiliki oleh orang normal. Anak tunanetra yang dimaksud adalah anak tunanetra total  kelas V yang berjumlah 3 anak di SDLB Negeri Baureno.

E.     Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada dasarnya merupakan suatu kegiatan operasional agar tindakannya masuk dalam pengertian penelitian sebenarnya. Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan variabel penelitian diperlukan suatu metode atau alat pengumpulan data yang tepat, valid dan reliable.
Arikunto (1993:121) mengemukakan bahwa “alat pengumpulan data digolongkan menjadi dua macam tes dan non tes”. Yang dimaksud tes adalah serentetan pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu. Sedangkan yang dimaksud non tes adalah skala bertingkat (rating scale, kuosioner, wawancara, observasi dan dokumentasi).
1.         Metode Tes
Tes adalah serentetan pernyataan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. (Arikunto, 2006:150).
Ada dua jenis tes hasil pembelajaran yang digunakan untuk mengukur ketrampilan siswa, yaitu tes baku dan tes buatan guru.  (Sudjana, 1990 dalam Erna, 2011:18). Tes baku adalah tes yang sudah dibakukan melalui proses pembakuan sehingga memiliki tingkat keabsahan (validity) dan keandalan (reliability) yang memadai. Tes buatan guru atau tes informal adalah tes yang dibuat  dan digunakan guru dalam kegiatan mengajar di kelas, tes semacam ini biasanya tidak dibakukan.
Adapun tipe-tipe tes (Erna, 2011:19) diantaranya tes esai, tes jawab singkat (short answer test), tes melengkapi (completion test), tes pilihan ganda (Multiple choice), tes menjodohkan (Matching test), dan tes benar-salah (True-Palse test).
Dalam penelitian ini teknik tes yang dipergunakan adalah tes buatan guru tipe tes jawab singkat (short answer test), dan berbentuk tes perbuatan / kinerja (performance tes). Penilaian kinerja digunakan ketika siswa mengikuti proses kegiatan membuat tempe yang dicatat pada lembar observasi. kriteria penilaian kinerja siswa dilihat pada saat kegiatan siswa membuat tempe sebelum diberikan treatment / perlakuan (pre tes). Dan pos tes digunakan untuk mengukur hasil keterampilan pra vokasional setelah siswa diberikan treatment  / perlakuan berupa kegiatan membuat tempe. Kemudian nilai kinerja pre tes dan pos tes dijadikan satu kemudian dibandingkan untuk memperoleh hasil nilai akhir.
Peneliti menggunakan bentuk tes lisan dan tes perbuatan ini karena peneliti ingin mengetahui peningkatan keterampilan berbahasa siswa tunanetra kelas V melalui pembelajaran video bersuara.
2.      Metode Dokumentasi
Menurut Arikunto (1996:234) “metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prestasi, notulen rapat, legger, legenda dan sebagainya”.
Dalam penelitian ini peneliti membutuhkan data yang bersifat dokumentasi dari sekolah yang bersifat data sekunder yang berupa nilai pelajaran bahasa, siswa tunanetra dalam proses intervensi yang akan dilihat secara cermat dan dinilai dan dijadikan sebagai pos tes.
3.      Metode Observasi
Menurut Arikunto (1989:128) “Metode observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis”.
Menurut Wahyudi (2005:65) “metode observasi adalah suatu teknik untuk mengamati secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
Metode observasi dalam penelitian ini digunakan sebagai metode utama dalam memperoleh informasi dan data. Tujuan menggunakan metode observasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data aktual sejauh mana kemampuan anak dalam berbahasa dan menangkap sebuah informasi.
F.     Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur penelitian ini pelaksanaannya meliputi hal-hal yang berkaitan dengan tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan hal yang berhubungan dengan tahap analisis data penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan langkah-langkah tersebut adalah :
1.         Tahap Persiapan
Tahap Persiapan merupakan langkah awal yang dilakukan peneliti sebelum mengadakan          penelitian. Adapun langkah-langkah yang dimaksud sebagai berikut :
a.       Melakukan Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan bisa memfokuskan masalah yang berada di lapangan. Tahap ini dilakukan sebelum menyusun proposal.
b.      Menyusun Pra Proposal Penelitian
Mengajukan topik permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk judul penelitian dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing merupakan langkah awal dalam merumuskan pra pososal. Menyusun pra-proposal merupakan langkah selanjutnya dalam penelitian sebelum menyusun proposal sebenarnya.
c.       Menentukan Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini menetapkan lokasi penelitian di SDLB Negeri Baureno Bojonegoro, sesuai permasalahan dan judul yang telah diajukan.
d.      Menyusun Proposal Penelitian
Menyusun proposal sesuai dengan topik permasalan dan judul yang telah disetujui oleh dosen pembimbing.
e.       Membuat Instrumen Penelitian
Instrument penelitian dibuat setelah terealisasikannya proposal melalui konsultasi dan persetujuan dosen pembimbing.
f.       Mengurus surat ijin penelitian
2.         Tahap Pelaksanaan Penelitian
Ada beberapa tahap penelitian, antara lain :
a.       Mengumpulkan data nilai harian siswa Bahasa Indonesia
Maksud dari pengumpulan data sekunder adalah untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam pelajaran bahasa khususnya yang mengacu kepada keterampilan berbahasa  anak. Dari data sekunder ini akan diperoleh skor/nilai kemampuan anak dalam berbahasa pada anak tunanetra.
b.      Intervensi
Pemberian intervensi melalui tayangan video bersuara pada anak tuanetra untuk meningkatkan keterampilan berbahasa anak.
c.       Mengadakan Pos Tes
Pos tes diberikan kepada siswa dengan tujuan untuk mengetahui perubahan yang dialami oleh subyek penelitian setelah diberi perlakuan. Pos tes dilaksanakan setelah intervensi diberikan.
G.    Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian terdiri dari :
1.      Silabus
Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolaan kelas, serta penilaian hasil belajar.
2.      Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran.
3.      Lembar Kerja Siswa
Lembar kerja ini yang dipergunakan siswa untuk membantu proses pengumpulan data hasil kerja siswa dalam proses pembelajaran.
4.      Tes Formatif
Tes ini disusun bedasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep bahasa pada pokok bahasan keterampilan berbahasa. Tes formatif ini diberikan setiap akhir kegiatan. Bentuk soal yang diberikan adalah berjumlah 10 soaldalam bentuk lisan.

H.    Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013:337) yang dilakukan adalah memulai dengan pengumpulan data, reduksi data, display data dan verification.
1.      Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya (dalam Sugiyono, 2013:338). Dalam penelitian ini data-data dipilih dan dikategorikan menjadi beberapa bagian yaitu: (a) komunikasi anak tunanetra kepada teman sekelasnya, guru, kepala sekolah dan staf perpustakaan dalam belajar di lingkungan SDLB Negeri Baureno; dan (b) masalah yang dialami siswa tunanetra dalam berkomunikasi dan upaya mengatasinya.
2.      Penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar ketegori, flowchart, dan sejenisnya (dalam Sugiyono, 2013:341). Dalam penyajian data peneliti menggelar data dalam bentuk sekumpulan informasi yang berupa teks naratif.
3.      Pada tahap ini penarikan kesimpulan diambil dari data yang terkumpul dan diverifikasi terus menerus selama penelitian berlangsung agar data yang didapat terjamin keabsahan dan objektifitasnya, sehingga kesimpulan terakhir dapat dipertanggung jawabkan (dalam Sugiyono, 2013:345). Pengambilan kesimpulan akan mendiskripsikan hal-hal sebagai berikut:
a.  Mendiskripsikan bagaimana komunikasi tunanetra kepada teman sekelasnya, guru, kepala sekolah dan staf perpustakaan dalam belajar.
b.  Mendiskripsikan masalah yang dialami siswa tunanetra dalam berbahasa
c.  Upaya-upaya yang di lakukan siswa tunanetra untuk mengatasi masalah yang ditemui dalam berkomunikasi dan berbahasa dengan teman sekelasnya, guru, kepala sekolah dan staf perpustakaan dalam belajar.
I.       Teknik Pengecekan Keabsahan Data
Setiap hal temuan harus dicek keabsahannya agar hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat dibuktikan keabsahannya.
Untuk pengecekan keabsahan temuan ini teknik yang dipakai oleh peneliti adalah triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2011:330). Pemeriksaan yang dilakukan oleh peneliti adalah triangulasi sumber, yakni dengan cara membandingkan kebenaran suatu fenomena berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, baik dilihat dari dimensi waktu maupun sumber yang lain.


DAFTAR PUSTAKA
1.       http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/komunikasi/article

2. http://www.google.co.id/search?client=ms-android-samsung&source=android-browser&q=pdf+kemampuan+berbahasa+anak+tunanetra&oq=pdf+kemampuan+berbahasa+anak+tunanetra&aqs=mobilegws-lite..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PPkN Tunanetra

Desain Big Book, Word Wall dan Mini Book